Kamis, 26 Mei 2016

Dakwah Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah

Secara harfiah (etimologi) kata dakwah mengandung antara lain: ajakan, panggilan, seruan, permohonan (do’a), pembelaan, dan lain sebagainya (Pimay, 2005: 14). Karena dakwah bersifat mengajak, maka di dalamnya tidaklah terdapat unsur pemaksaan dalam upaya menyampaikan ajaran Islam atau mengajak seluruh umat manusia untuk berimn kepada Allah SWT semata. Sebagai juru dakwah (da’i) tidak dibenarkan dalam menyebarkan ajaran Islam menggunakan paksaan, tekanan, intimidasi, ancaman maupun kekerasan. Pada prinsipnya dakwah dalam penyebaran ajaran Islam bersifat persuasif sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW (Syarif, 1983: 73), bukan dengan menggunakan cara kekerasan ataupun paksaan. Dalam hal ini Allah Swt telah berfirman dalam al-Qur’an:



Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99)

Toleransi sebagai prinsip sekaligur doktrin Islam, pada dasarnya tidaklah sekedar permasalahan prosedur semata, akan tetapi lebih mendasar dari itu. Toleransi merupakan suatu pandangan hidup yang berakar dari ajaran agama yang benar, yang mewajibkan kita untuk melaksanakannya (Madjid, 1999: 63). Adanya pemahaman toleransi yang benar diharapkan mampu membawa kemaslahatan bagi seluruh umat beragama, dari pengalaman suatu prinsip dan ajaran yang benar, berdemensi sangat luas dan berjangka panjang.

Pengalaman sejarah telah membuktikan prinsip ajaran toleransi dalam peradaban zaman Nabi Muhammad SAW di kota Madinah, yang telah terimplementasi secara nyata dan riil, sekaligus mampu mencerminkan sikap Islam yang sangat menghargai adanya kemajemukan, perbedaan, menjunjung tinggi sikap toleransi, dan kebebasan serta memberikan sebuah perlindungan terhadap pemeluk agama yang berbeda. Sikap yang tercermin itu, menunjukkan bahwa ajaran agama Islam merupakan sebuah ajaran agama yang senantiasa membawa rahmat bagi seluruh alam.

Islam adalah agama yang senantiasa membawa kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, keselamatan hidup umat manusia baik di dunia maupun akhirat. Agama Islam dianut, tumbuh dan menjadi agama yang besar, bukan dengan paksaan, peperangan dan kekerasan, melainkan Islam disebarkan dengan jalan kebijaksanaan, kedamaian, santun, mengedepankan sikap humanisme, dan toleransi dalam perbedaan.

Dengan demikian dakwah dalam menyiarkan ajaran Islam bukanlah dakwah yang menggunakan kekerasan, kekuatan, penaklukan, dan peperangan. Islam tidak memaksakan suatu hukum kepada umat manusia kedalam suatu kebencian dan paksaan. Sebagai juru dakwah hanya berkewajiban menyampaikan suatu kebenaran serta menunjukkannya jalan dan menggambarkan apa yang telah digambakan oleh Allah SWT. Selanjutnya terserah mereka menerima dan mengikuti kebenaran tersebut atau menolaknya. Tidak perlu menggunakan paksaan dalam menyampaikan kebenaran itu, sehingga dengan demikian citra diri agama Islam mampu serta memiliki bergaining position di hadapan umat baragama yang lain.

Secara historis Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan sebuah bentuk dakwah yang jitu pada masyarakat plural dan beraneka ragam baik suku, ras, maupun agama. Dengan mengedepankan nilai-nilai humanisme dan toleransi, serta bersikap tegas dalam mengambil suatu sikap yang berkaitan dengan agama. Dakwah yang telah dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik di Mekkah maupun Madinah merupakan suatu gerakan menuju tranformasi sosial. Dakwah diejawantahkan sebagai suatu gerakan pembebasan dari eksploitasi, dominasi, penindasan, dan ketidakadilan dalam berbagai aspeknya (Majid, 1994: 63).

Pengalaman sosio-historis islam pada masyarakat Madinah merupakan representasi dari bentuk masyarakat madani yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di kota madinah. Seorang sosiolog terkemuka Robert N. Bellah (Bellah, 2000: 208) mengatakan bahwa:

Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusa pada saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial modern seperti yang dirintis oleh nabi Muhammad SAW.

Pada dasarnya apabila kita membuka kembali dokumen sejarah Islam, akan ditemukan sebuah prinsip-prinsip dasar pembentukan suatu masyarakat madani yang di dalamnya berbagai bentuk agama yang dirintis dan dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW. Prinsip-prinsip ini tertuang dalam sebuah perjanjian yang biasa dikenal dengan sebutan Piagam Madinah (Mitsaqul-Madinah).

Piagam Madinah merupakan piagam resmi yang oleh orientalis terkemuka Prof. William Montgomery Watt mengistilahkan Piagam Madinah sebagai Konstitusi Madinah. Sebuah konstitusi yang mampu masuk menerobos dan memperkenalkan wacana-wacana kebebasan beragama, persaudaraan antar agama, perdamaian dan kedamaian, persatuan etika politik, hak serta kewajiban sebagai warga negara yang baik serta konsistensi penegakkan hukum berdasarkan keadilan dan kebenaran (Sukidi, 2001: 78-79).

Kita ketahui bahwa dalam bidang agama, prinsip yang dipegang Nabi Muhammad SAW dalam membangun suatu tatanan masyarakat madani lebih mengedepankan nilai-nilai kebebasan dalam memeluk agama serta menjalankan ritualitas sebagaimana keyakinan yang telah diyakini kebenarannya oleh setiap warga. Dengan mengedepankan sebuah sikap saling menghormati dan menghargai adanya perbedaan serta mengembangkan sikap humanisme dan toleransi beragama. Sebagai bentuk aktualisasi diri umat manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam beragama. Hal ini sesuai dengan isi Piagam Madinah pada pasal 25 s/d 30 sebagai dasar dan pegangan bagi seluruh umat manusia khususnya umat Islam. Pada tataran aktualisasinya, prinsip ini diwujudkan dalam bentuk pengakuan sebuah negara yang senantiasa melindungi kebebasan dalam menjalankan ibadah bagi umat beragama sebagaimana ajaran agama yang telah dianut dan diyakini kebenarannya, apapun bentuk agama dan ritualitasnya.

Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama orang-orang Mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau khianat, karena sesungguhnya orang yang demikian hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya (pasal 25).

Sesungguhnya Yahudi Bani al-Najjar memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 26).

Sesungguhnya Yahudi Bani al-Harits memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 27).

Sesungguhnya Yahudi Bani Saidat memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 28).

Sesungguhnya Yahudi Bani Jusyam memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 29).

Sesungguhnya Yahudi Bani al-Aus memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 30).

Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:



Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Maidah: 44)

Pluralitas beragama serta dikembangkannya sebuah sikap saling menghormati, menghargai, toleransi antar umat beragama pada masyarakat Madinah serta terbentuknya sebuah dokumen kesepakatan bersama yang tertuang dalam Piagam Madinah merupakan bukti riil adanya kemajemukan pada masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai tolak ukur peradaban agar seluruh umat manusia khususnya umat Islam mengikuti jejak langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan menggunakan bentuk dakwah yang toleransi dan bersikap tegas dalam menentukan sikap yang berkaitan dengan terganggunya sebuah akidah yang telah diyakininya. Dengan mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang, ketentraman, dan kedamaian, serta persaudaraan. Sehingga terwujudlah sebuah tatanan masyarakat yang sadar akan pentingnya sebuah toleransi beragama dalam menyikapi sebuah perbedaan, tindakan kemanusiaan secara universal, non sektarian. Sebagaimana telah dijelaskan pada pasal 14, 15, 19 dan pasal 21 dalam Piagam Madinah.

Seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh membantu orang kafir untuk melawan orang mukmin (pasal 14).

Sesungguhnya jaminan atau perlindungan Allah SWT itu satu. Dia melindungi orang lemah di antara mereka, dan sesungguhnya orang-orang mukmin sebagian mereka adalah penolong atau pembela terhadap sebagian bukan golongan lain (pasal 15).

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu sebagian membela sebagian yang lain dalam peperangan di jalan Allah (pasal 19).

Sesungguhnya barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan cukup bukti maka sesungguhnya ia harus dihukum bunuh dengan sebab perbuatannya itu, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat) dan seluruh orang0orang mukmin bersatu untuk menghukumnya (pasal 21).

Keberhasilan Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bidang agama saja, namun dibidang norma dan etika politik (pasal 17, 23, dan 42) yang beradab sebagai proses kearah kesadaran pengakuan akan hak dan kewajiban setiap warga negara yang harus dihormati (pasal 12 dan 14).

Bahwa seorang mukmin tidak boleh mengikat persekutuan atau aliansi dengan keluarga mukmin tanpa persetujuan yang lainnya (pasal 12).

Sesungguhnya perdamaian orang-orang mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin yang lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah SWT, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka (pasal 17).

Sesungguhnya bila kamu berbeda (pendapat) mengenai sesuatu, maka dasar penyelesaiannya (menurut ketentuan) Allah SWT dan Muhammad SAW (pasal 23).

Sesungguhnya bila di antara pendukung shahifat ini terjadi suatu peristiwa atau perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya atau kerusakan, maka penyelesaiannya (menurut) ketentuan Allah SWT dan Muhammad Rasulullah SAW, dan sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik isi Shahifat ini (pasal 42).

Pada konteks inilah prinsip-prinsip persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara tertuang pada piagam Madinah (pasal 24, 36-38).

Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang Mukmin bekerja sama dalam menanggung pembiayaan selama mereka mengadakan peperangan bersama (pasal 24).

Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka (penduduk Madinah) dibenarkan keluar kecuali dengan izin Muhammad (pasal 36 a).

Sesungguhnya tidak dihalangi seseorang menuntut haknya (balas) karena dilukai, dan siapa yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan kejahatan atas diri dan keluarganya, kecuali teraniaya. Sesungguhnya Allah SWT memandang baik (ketentuan) ini (pasal 36 b).

Sesungguhnya kaum Yahudi wajib menanggung nafkah mereka dan orang-orang mukmin wajib menanggung nafkah mereka sendiri. Tapi, di antara mereka harus ada kerja sama atau tolong-menolong dalam menghadapi orang yang menyerang warga shahifat ini, dan mereka saling memberi saran dan nasihat dan berbuat kebaikan, bukan perbuatan dosa (pasal 37 a).

Sesungguhnya seseorang tidak ikut menanggung kesalahan sekutunya, dan pertolongan atau pembelaan diberikan kepada orang teraniaya (pasal 37 b).

Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang mukmin bekerjasama menanggung pembiayaan selama mereka menghadapi peperangan bersama (pasal 38).

Dalam bidang hukum, Nabi Muhammad SAW mengakui adanya persamaan hak bagi setiap warga negara didepan hukum tanpa pandang bulu. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW pada anak tercintanya Fatimah dalam melaksanakan semua komitmen serta keputusan bersama dalam persamaan di mata hukum yang ditegakkan di atas prinsip keadilan dan kebenaran. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW betul-betul konsisten dalam penegakkan hukum dan keadilan. Sebagaimana yang ada pada Piagam Madinah (pasal 13, 22, dan 34). Nabi Muhammad SAW sadar betul bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa dahulu, apabila”orang atas” (A’sy-syarif) melakukan suatu kejahatan dibiarkan saja tanpa adanya proses hukum yang maksimal. Namun apabila “orang bawah” (A’dh-dha’if) melakukan suatu kejahatan pastilah akan dikenai sangsi hukuman. Hal itu merupakan sebagai bukti bahwa toleransi dalam masyarakat madani akan terwujud apabila hukum dan keadilan ditegakkan secara benar.

Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertaqwa harus melawan orang yang memberontak di antara mereka, atau orang yang bersikap zalim atau berbuat dosa, atau melakukan permusuhan atau kerusakan di antara orang -orang mukmin, dan bahwa kekuatan mereka bersatu melawannya walaupun terhadap anak salah seorang dari mereka (pasal 13).

Sesungguhnya tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui isi shaifat ini dan beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir menolong pelaku kejahatan dan tidak pula membelanya. Siapa yang menolong dan membelanya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan dan amarah Allah di Hari Kiamat, dan tidak ada suatu penyelsalan dan tebusan yang dapat diterima daripadanya (pasal 22).

Sesungguhnya sekutu-sekutu Tsa’labat memperoleh perlakuan yang sama seperti mereka (pasal 34).

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat di kota Madinah melakukan sebuah konsientisasi (penyadaran), melalui penanaman terhadap kecintaannya terhadap iman. Dengan dasar iman itulah terciptanya sebuah bangunan persaudaraan, dengan menepiskan dan menghalangkan perselisihan terhadap perbedaan agama yang diyakini oleh masyarakat Madinah yang plural. Apabila terdapat sebuah perselisihan, maka yang diupayakan adalah adanya rekonsiliasi yang secara damai dan lebih mengedepankan nilai-nilai humanisme dan toleransi dalam penyelesaian permasalahan tersebut. Siapapun yang melakukan sebuah kesalahan maka harus ditindak untuk mempertahankan sebuah kebenaran serta keadilan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an:



Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujurat: 10).

Kebijakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Madinah dengan mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam, menjunjung tinggi keadilan, persatuan, persaudaraan, dan perdamaian, toleransi, serta humanisme, merupakan kecerdasan strategi dakwah Nabi Muhammad SAW dalam mengambil simpati masyarakat Madinah. Sehingga dalam pandangan masyarakat Madinah yang berbeda agama dan keyakinan tersebut, Islam dimata mereka merupakan agama yang toleransi dan humanis serta tegas dalam mengambil sebuah keputusan, tidak pilih kasih. Dalam bahasa trainer, kebijakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW merupakan dakwah yang mengedepankan pada performens dan pencitraan diri Islam, sehingga terbangun dalam image masyarakat Madinah Islam merupakan agama yang toleran, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, dan cinta perdamaian, sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian Piagam Madinah.

Piagam Madinah yang telah disepakati oleh semua pihak, mengandung prinsip-prinsip tentang tatanan sosial, ekonomi, politik, sistem pertahanan negara terhadap ancaman dari pihak luar Madinah, keadilan pemerintahan terhadap masyarakat Madinah tanpa terkecuali, kebebasan beragama tanpa adanya paksaan, hak untuk beribadah sebagaimana agama yang diyakini, dan bersama-sama menjalin persatuan dalam menjaga keamanan Madinah dari kejahatan dan pengkhianatan, serta saling menjaga antara satu dengan lainnya dari perbuatan dosa. Begitulah sebuah kesuksesan Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Madinah yang terbuka, adil, egaliter, demokrats, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, serta sikap toleransi beragama dalam menyikapi adanya sebuah kemajemukan dalam bermasyarakat, bernegara. Sehingga terwujudnya sebuah kesadaran akan hak dan kewajiban pada seluruh lapisan masyarakat di kota Madinah.

Dapat difahami bahwa, setiap bentuk eksklusifisme, otoritarianisme, anti-toleransi, dan anti-pluralisme, pemaksaan kehendak, serta tidak memberikan ruang kebebasan terhadap setiap orang dalam menjalankan dan melaksanakan ritualitas yang diyakini kebenarannya, sebagaimana yang telah tercermin dalam catatan sejarah di atas bukanlah dari ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW sebagai agama yang Rachmatan Li-l’Alamin. Bahkan dalam ajaran agama Islam, al-Qur’an dengan tegas melarang pemaksaan suatu agama kepada orang ataupun komunitas lain yang berbeda, betapapun benarnya agama tersebut. Karena pada akhirnya kekuasaan Allah SWT yang akan mampu memberikan suatu petunjuk serta hidayah kepada manusia. Namun demi keberlangsungan hidup yang damai, tentram, penuh dengan kasih sayang serta menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme dan toleransi umat beragama, manusia harus terbuka dan menerima setiap pandangan dan ajaran yang berbeda. Kemudian dengan keikhlasan tanpa adanya suatu paksaan manusia bersedia mengikuti mana yang terbaik. Itulah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan pertanda adanya hidayah-Nya kepada mereka.








Referensi:

Ghofir, Jamal. 2012. Piagam Madinah: nilai toleransi dalam dakwah Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Aura Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar