Kamis, 26 Mei 2016

Dakwah Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah

Secara harfiah (etimologi) kata dakwah mengandung antara lain: ajakan, panggilan, seruan, permohonan (do’a), pembelaan, dan lain sebagainya (Pimay, 2005: 14). Karena dakwah bersifat mengajak, maka di dalamnya tidaklah terdapat unsur pemaksaan dalam upaya menyampaikan ajaran Islam atau mengajak seluruh umat manusia untuk berimn kepada Allah SWT semata. Sebagai juru dakwah (da’i) tidak dibenarkan dalam menyebarkan ajaran Islam menggunakan paksaan, tekanan, intimidasi, ancaman maupun kekerasan. Pada prinsipnya dakwah dalam penyebaran ajaran Islam bersifat persuasif sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW (Syarif, 1983: 73), bukan dengan menggunakan cara kekerasan ataupun paksaan. Dalam hal ini Allah Swt telah berfirman dalam al-Qur’an:



Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99)

Toleransi sebagai prinsip sekaligur doktrin Islam, pada dasarnya tidaklah sekedar permasalahan prosedur semata, akan tetapi lebih mendasar dari itu. Toleransi merupakan suatu pandangan hidup yang berakar dari ajaran agama yang benar, yang mewajibkan kita untuk melaksanakannya (Madjid, 1999: 63). Adanya pemahaman toleransi yang benar diharapkan mampu membawa kemaslahatan bagi seluruh umat beragama, dari pengalaman suatu prinsip dan ajaran yang benar, berdemensi sangat luas dan berjangka panjang.

Pengalaman sejarah telah membuktikan prinsip ajaran toleransi dalam peradaban zaman Nabi Muhammad SAW di kota Madinah, yang telah terimplementasi secara nyata dan riil, sekaligus mampu mencerminkan sikap Islam yang sangat menghargai adanya kemajemukan, perbedaan, menjunjung tinggi sikap toleransi, dan kebebasan serta memberikan sebuah perlindungan terhadap pemeluk agama yang berbeda. Sikap yang tercermin itu, menunjukkan bahwa ajaran agama Islam merupakan sebuah ajaran agama yang senantiasa membawa rahmat bagi seluruh alam.

Islam adalah agama yang senantiasa membawa kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, keselamatan hidup umat manusia baik di dunia maupun akhirat. Agama Islam dianut, tumbuh dan menjadi agama yang besar, bukan dengan paksaan, peperangan dan kekerasan, melainkan Islam disebarkan dengan jalan kebijaksanaan, kedamaian, santun, mengedepankan sikap humanisme, dan toleransi dalam perbedaan.

Dengan demikian dakwah dalam menyiarkan ajaran Islam bukanlah dakwah yang menggunakan kekerasan, kekuatan, penaklukan, dan peperangan. Islam tidak memaksakan suatu hukum kepada umat manusia kedalam suatu kebencian dan paksaan. Sebagai juru dakwah hanya berkewajiban menyampaikan suatu kebenaran serta menunjukkannya jalan dan menggambarkan apa yang telah digambakan oleh Allah SWT. Selanjutnya terserah mereka menerima dan mengikuti kebenaran tersebut atau menolaknya. Tidak perlu menggunakan paksaan dalam menyampaikan kebenaran itu, sehingga dengan demikian citra diri agama Islam mampu serta memiliki bergaining position di hadapan umat baragama yang lain.

Secara historis Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan sebuah bentuk dakwah yang jitu pada masyarakat plural dan beraneka ragam baik suku, ras, maupun agama. Dengan mengedepankan nilai-nilai humanisme dan toleransi, serta bersikap tegas dalam mengambil suatu sikap yang berkaitan dengan agama. Dakwah yang telah dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik di Mekkah maupun Madinah merupakan suatu gerakan menuju tranformasi sosial. Dakwah diejawantahkan sebagai suatu gerakan pembebasan dari eksploitasi, dominasi, penindasan, dan ketidakadilan dalam berbagai aspeknya (Majid, 1994: 63).

Pengalaman sosio-historis islam pada masyarakat Madinah merupakan representasi dari bentuk masyarakat madani yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di kota madinah. Seorang sosiolog terkemuka Robert N. Bellah (Bellah, 2000: 208) mengatakan bahwa:

Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusa pada saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial modern seperti yang dirintis oleh nabi Muhammad SAW.

Pada dasarnya apabila kita membuka kembali dokumen sejarah Islam, akan ditemukan sebuah prinsip-prinsip dasar pembentukan suatu masyarakat madani yang di dalamnya berbagai bentuk agama yang dirintis dan dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW. Prinsip-prinsip ini tertuang dalam sebuah perjanjian yang biasa dikenal dengan sebutan Piagam Madinah (Mitsaqul-Madinah).

Piagam Madinah merupakan piagam resmi yang oleh orientalis terkemuka Prof. William Montgomery Watt mengistilahkan Piagam Madinah sebagai Konstitusi Madinah. Sebuah konstitusi yang mampu masuk menerobos dan memperkenalkan wacana-wacana kebebasan beragama, persaudaraan antar agama, perdamaian dan kedamaian, persatuan etika politik, hak serta kewajiban sebagai warga negara yang baik serta konsistensi penegakkan hukum berdasarkan keadilan dan kebenaran (Sukidi, 2001: 78-79).

Kita ketahui bahwa dalam bidang agama, prinsip yang dipegang Nabi Muhammad SAW dalam membangun suatu tatanan masyarakat madani lebih mengedepankan nilai-nilai kebebasan dalam memeluk agama serta menjalankan ritualitas sebagaimana keyakinan yang telah diyakini kebenarannya oleh setiap warga. Dengan mengedepankan sebuah sikap saling menghormati dan menghargai adanya perbedaan serta mengembangkan sikap humanisme dan toleransi beragama. Sebagai bentuk aktualisasi diri umat manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam beragama. Hal ini sesuai dengan isi Piagam Madinah pada pasal 25 s/d 30 sebagai dasar dan pegangan bagi seluruh umat manusia khususnya umat Islam. Pada tataran aktualisasinya, prinsip ini diwujudkan dalam bentuk pengakuan sebuah negara yang senantiasa melindungi kebebasan dalam menjalankan ibadah bagi umat beragama sebagaimana ajaran agama yang telah dianut dan diyakini kebenarannya, apapun bentuk agama dan ritualitasnya.

Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama orang-orang Mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau khianat, karena sesungguhnya orang yang demikian hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya (pasal 25).

Sesungguhnya Yahudi Bani al-Najjar memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 26).

Sesungguhnya Yahudi Bani al-Harits memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 27).

Sesungguhnya Yahudi Bani Saidat memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 28).

Sesungguhnya Yahudi Bani Jusyam memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 29).

Sesungguhnya Yahudi Bani al-Aus memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf (pasal 30).

Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:



Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Maidah: 44)

Pluralitas beragama serta dikembangkannya sebuah sikap saling menghormati, menghargai, toleransi antar umat beragama pada masyarakat Madinah serta terbentuknya sebuah dokumen kesepakatan bersama yang tertuang dalam Piagam Madinah merupakan bukti riil adanya kemajemukan pada masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai tolak ukur peradaban agar seluruh umat manusia khususnya umat Islam mengikuti jejak langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan menggunakan bentuk dakwah yang toleransi dan bersikap tegas dalam menentukan sikap yang berkaitan dengan terganggunya sebuah akidah yang telah diyakininya. Dengan mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang, ketentraman, dan kedamaian, serta persaudaraan. Sehingga terwujudlah sebuah tatanan masyarakat yang sadar akan pentingnya sebuah toleransi beragama dalam menyikapi sebuah perbedaan, tindakan kemanusiaan secara universal, non sektarian. Sebagaimana telah dijelaskan pada pasal 14, 15, 19 dan pasal 21 dalam Piagam Madinah.

Seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh membantu orang kafir untuk melawan orang mukmin (pasal 14).

Sesungguhnya jaminan atau perlindungan Allah SWT itu satu. Dia melindungi orang lemah di antara mereka, dan sesungguhnya orang-orang mukmin sebagian mereka adalah penolong atau pembela terhadap sebagian bukan golongan lain (pasal 15).

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu sebagian membela sebagian yang lain dalam peperangan di jalan Allah (pasal 19).

Sesungguhnya barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan cukup bukti maka sesungguhnya ia harus dihukum bunuh dengan sebab perbuatannya itu, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat) dan seluruh orang0orang mukmin bersatu untuk menghukumnya (pasal 21).

Keberhasilan Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bidang agama saja, namun dibidang norma dan etika politik (pasal 17, 23, dan 42) yang beradab sebagai proses kearah kesadaran pengakuan akan hak dan kewajiban setiap warga negara yang harus dihormati (pasal 12 dan 14).

Bahwa seorang mukmin tidak boleh mengikat persekutuan atau aliansi dengan keluarga mukmin tanpa persetujuan yang lainnya (pasal 12).

Sesungguhnya perdamaian orang-orang mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin yang lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah SWT, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka (pasal 17).

Sesungguhnya bila kamu berbeda (pendapat) mengenai sesuatu, maka dasar penyelesaiannya (menurut ketentuan) Allah SWT dan Muhammad SAW (pasal 23).

Sesungguhnya bila di antara pendukung shahifat ini terjadi suatu peristiwa atau perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya atau kerusakan, maka penyelesaiannya (menurut) ketentuan Allah SWT dan Muhammad Rasulullah SAW, dan sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik isi Shahifat ini (pasal 42).

Pada konteks inilah prinsip-prinsip persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara tertuang pada piagam Madinah (pasal 24, 36-38).

Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang Mukmin bekerja sama dalam menanggung pembiayaan selama mereka mengadakan peperangan bersama (pasal 24).

Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka (penduduk Madinah) dibenarkan keluar kecuali dengan izin Muhammad (pasal 36 a).

Sesungguhnya tidak dihalangi seseorang menuntut haknya (balas) karena dilukai, dan siapa yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan kejahatan atas diri dan keluarganya, kecuali teraniaya. Sesungguhnya Allah SWT memandang baik (ketentuan) ini (pasal 36 b).

Sesungguhnya kaum Yahudi wajib menanggung nafkah mereka dan orang-orang mukmin wajib menanggung nafkah mereka sendiri. Tapi, di antara mereka harus ada kerja sama atau tolong-menolong dalam menghadapi orang yang menyerang warga shahifat ini, dan mereka saling memberi saran dan nasihat dan berbuat kebaikan, bukan perbuatan dosa (pasal 37 a).

Sesungguhnya seseorang tidak ikut menanggung kesalahan sekutunya, dan pertolongan atau pembelaan diberikan kepada orang teraniaya (pasal 37 b).

Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang mukmin bekerjasama menanggung pembiayaan selama mereka menghadapi peperangan bersama (pasal 38).

Dalam bidang hukum, Nabi Muhammad SAW mengakui adanya persamaan hak bagi setiap warga negara didepan hukum tanpa pandang bulu. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW pada anak tercintanya Fatimah dalam melaksanakan semua komitmen serta keputusan bersama dalam persamaan di mata hukum yang ditegakkan di atas prinsip keadilan dan kebenaran. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW betul-betul konsisten dalam penegakkan hukum dan keadilan. Sebagaimana yang ada pada Piagam Madinah (pasal 13, 22, dan 34). Nabi Muhammad SAW sadar betul bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa dahulu, apabila”orang atas” (A’sy-syarif) melakukan suatu kejahatan dibiarkan saja tanpa adanya proses hukum yang maksimal. Namun apabila “orang bawah” (A’dh-dha’if) melakukan suatu kejahatan pastilah akan dikenai sangsi hukuman. Hal itu merupakan sebagai bukti bahwa toleransi dalam masyarakat madani akan terwujud apabila hukum dan keadilan ditegakkan secara benar.

Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertaqwa harus melawan orang yang memberontak di antara mereka, atau orang yang bersikap zalim atau berbuat dosa, atau melakukan permusuhan atau kerusakan di antara orang -orang mukmin, dan bahwa kekuatan mereka bersatu melawannya walaupun terhadap anak salah seorang dari mereka (pasal 13).

Sesungguhnya tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui isi shaifat ini dan beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir menolong pelaku kejahatan dan tidak pula membelanya. Siapa yang menolong dan membelanya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan dan amarah Allah di Hari Kiamat, dan tidak ada suatu penyelsalan dan tebusan yang dapat diterima daripadanya (pasal 22).

Sesungguhnya sekutu-sekutu Tsa’labat memperoleh perlakuan yang sama seperti mereka (pasal 34).

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat di kota Madinah melakukan sebuah konsientisasi (penyadaran), melalui penanaman terhadap kecintaannya terhadap iman. Dengan dasar iman itulah terciptanya sebuah bangunan persaudaraan, dengan menepiskan dan menghalangkan perselisihan terhadap perbedaan agama yang diyakini oleh masyarakat Madinah yang plural. Apabila terdapat sebuah perselisihan, maka yang diupayakan adalah adanya rekonsiliasi yang secara damai dan lebih mengedepankan nilai-nilai humanisme dan toleransi dalam penyelesaian permasalahan tersebut. Siapapun yang melakukan sebuah kesalahan maka harus ditindak untuk mempertahankan sebuah kebenaran serta keadilan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an:



Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujurat: 10).

Kebijakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Madinah dengan mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam, menjunjung tinggi keadilan, persatuan, persaudaraan, dan perdamaian, toleransi, serta humanisme, merupakan kecerdasan strategi dakwah Nabi Muhammad SAW dalam mengambil simpati masyarakat Madinah. Sehingga dalam pandangan masyarakat Madinah yang berbeda agama dan keyakinan tersebut, Islam dimata mereka merupakan agama yang toleransi dan humanis serta tegas dalam mengambil sebuah keputusan, tidak pilih kasih. Dalam bahasa trainer, kebijakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW merupakan dakwah yang mengedepankan pada performens dan pencitraan diri Islam, sehingga terbangun dalam image masyarakat Madinah Islam merupakan agama yang toleran, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, dan cinta perdamaian, sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian Piagam Madinah.

Piagam Madinah yang telah disepakati oleh semua pihak, mengandung prinsip-prinsip tentang tatanan sosial, ekonomi, politik, sistem pertahanan negara terhadap ancaman dari pihak luar Madinah, keadilan pemerintahan terhadap masyarakat Madinah tanpa terkecuali, kebebasan beragama tanpa adanya paksaan, hak untuk beribadah sebagaimana agama yang diyakini, dan bersama-sama menjalin persatuan dalam menjaga keamanan Madinah dari kejahatan dan pengkhianatan, serta saling menjaga antara satu dengan lainnya dari perbuatan dosa. Begitulah sebuah kesuksesan Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Madinah yang terbuka, adil, egaliter, demokrats, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, serta sikap toleransi beragama dalam menyikapi adanya sebuah kemajemukan dalam bermasyarakat, bernegara. Sehingga terwujudnya sebuah kesadaran akan hak dan kewajiban pada seluruh lapisan masyarakat di kota Madinah.

Dapat difahami bahwa, setiap bentuk eksklusifisme, otoritarianisme, anti-toleransi, dan anti-pluralisme, pemaksaan kehendak, serta tidak memberikan ruang kebebasan terhadap setiap orang dalam menjalankan dan melaksanakan ritualitas yang diyakini kebenarannya, sebagaimana yang telah tercermin dalam catatan sejarah di atas bukanlah dari ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW sebagai agama yang Rachmatan Li-l’Alamin. Bahkan dalam ajaran agama Islam, al-Qur’an dengan tegas melarang pemaksaan suatu agama kepada orang ataupun komunitas lain yang berbeda, betapapun benarnya agama tersebut. Karena pada akhirnya kekuasaan Allah SWT yang akan mampu memberikan suatu petunjuk serta hidayah kepada manusia. Namun demi keberlangsungan hidup yang damai, tentram, penuh dengan kasih sayang serta menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme dan toleransi umat beragama, manusia harus terbuka dan menerima setiap pandangan dan ajaran yang berbeda. Kemudian dengan keikhlasan tanpa adanya suatu paksaan manusia bersedia mengikuti mana yang terbaik. Itulah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan pertanda adanya hidayah-Nya kepada mereka.








Referensi:

Ghofir, Jamal. 2012. Piagam Madinah: nilai toleransi dalam dakwah Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Aura Pustaka.

Bimbingan Konseling



A. Pengertian Bimbingan Pribadi dalam Bimbingan dan Konseling

Bimbingan pribadi bisa dimaknai sebagai suatu bantuan dari pembimbing kepada terbimbing (individu) agar dapat mencapai tujuan dan tugas perkembangan pribadi dalam mewujudkan pribadi yang mampu bersosialisai dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara baik.

Bimbingan pribadi adalah layanan bimbingan yang diberikan kepada siswa untuk menemukan dan mengembangkan diri pribadinya sehingga menjadi pribadi yang mantap dan mandiri serta mampu mengoptimalkan potensi yang di miliki.

Menurut Surya (1988) bimbingan pribadi merupakan bimbingan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah pribadi. Relevan dengan Surya, Winkel (1991) menyatakan bahwa bimbingan pribadi merupakan proses bantuan yang menyangkut keadaan batinnya sendiri, kejasmaniannya sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas, bimbingan pribadi (personal guidance) bisa dimaknai bimbingan untuk membantu individu mengatasi masalah-masalah yang bersifat pribadi.

Berdasarkan makna bimbingan pribadi di atas, dapat diketahui bahwa bimbingan pribadi bertujuan untuk membantu individu agar bisa memecahkan masalah-masalah yang bersifat pribadi. Di dalam makna bimbingan pribadi menurut Depdikbud di atas, tujuan bimbingan pribadi untuk: (a) mencapai tujuan dan tugas perkembangan pribadi, (b) mewujudkan pribadi yang mampu bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara baik.

Bimbingan pribadi juga bertujuan agar individu mampu mengatasi sendiri, mengambil sikap sendiri atau memecahkan masalah sendiri yang menyangkut keadaan batinnya sendiri. Dengan perkataan lain, agar individu mampu mengatur dirinya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, dan pengisian waktu luang.

B. Masalah-masalah yang dihadapi siswa di sekolah dan madrasah

Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tentang tingakatan masalah beserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagai berikut:

1. Masalah (kasus) ringan, seperti membolos, malas, kesulitan belajar pada bidan tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.

2. Masalah (kasus) sedang, seperti gangguan emosional, berpacaran dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum-minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru bimbingan dan konseling (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, alhi/profesional, polisi, guru, dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.

3. Masalah (kasus) berat, seperti gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, perilaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alih tangan kasus) kepada psikolog, psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.

Dengan melihat penjelasan di atas tampak jelas, bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan bimbingan dan konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan koseling/konselor di sekolah, tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.

C. Langkah-langkah pelaksanaan bimbingan konseing di sekolah dan madrasah

Melakukan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah, hendaknya perlu diketahui langkah-langkah dalam memberikan layanan bimbingan konseling pada siswa, terutama mereka yang mempunyai masalah. Adapun langkah-langkah tersebut meliputi:

1. Identifikasi Masalah

Pada langkah ini hendaknya diperhatikan guru adalah mengenal gejala-gejala awal dari suatu masalah yang dihadapi siswa. Maksud dari gejala awal di sini adalah apabila siswa menunjukkan tingkah laku yang berbedaatau menyimpang dari biasanya. Untuk mengetahui gejala awal tidaklah mudah, karena harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan memerhatikan gejala-gejala yang nampak, kemudian dianalisis dan selanjutnya dievaluasi. Apabila siswa menunjukkan tingkah laku atau hal-hal yang berbeda dari biasanya, maka hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai gejala dari suatu masalah yang sedang dialami siswa. Sebagai contoh, Benin seorang siswa yang mempunyai prstasi belajar yang bagus, untuk semua mata pelajaran ia memperoleh nilai di atas rata-rata kelas. Dia juga disenangi teman-teman maupun guru karena pandai bergaul, tidak sombong, dan baik hati. Sudah dua bulan ini Benin berubah menjadi agak pendiam, prestasi belajarnya pun mulai menurun. Sebagai guru Bimbingan Konseling, Ibu Heni mengadakan pertemuan dengan guru untuk mengamati Benin. Dari hasil laporan dan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa orang guru, Ibu Heni kemudian melakukan evaluasi berdasarkan masalah Benin dengan gejala yang tampak. Selanjutnya dapat diperkirakan jenis dan sifat masalah yang dihadapi Benin tersebut. Karena dalam pengamatan terlihat prestasi belajar Benin menurun, maka dapat diperkirakan Benin sedang mengalami masalah “kurang menguasai materi pelajaran”. Perkiraan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan langkah selanjutnya, yaitu diagnosis.



2. Diagnosis

Pada langkah diagnosis yang dilakukan adalah menetapkan “masalah” berdasarkan analisis latar belakang yang menjadi penyebab timbulnya masalah. Dalam langkah ini dilakukan kegiatan pengumpulan data mengenai berbagai hal yang menjadi latar belakang atau yang melatarbelakangi gejala yang muncul. Pada kasus Benin, dilakukan pengumpulan informasi dari berbagai pihak. Yaitu dari orang tua, teman dekat, guru, dan juga Benin sendiri. Dari informasi yang terkumpul, kemudian dilakukan analisis maupun sintesis dan dilanjutkan dengan menelaah keterkaitan informasi latar belakang dengan gejala yang tampak. Dari informasi yang didapat, Benin terlihat menjadi pendiam dan prestasi belajarnya menurun. Dari informasi keluarga didapat keterangan bahwa kedua orang tua Benin telah bercerai. Berdasarkan analisis dan sintesis, kemudian diperkirakan jenis dan bentuk masalah yang ada pada diri Benin yaitu karena orang tuanya telah bercerai menyebabkan Benin menjadi pendiam dan prestasi belajarnya menurun, maka Benin sedang mengalami masalah pribadi.

3. Prognosis

Langkah prognosis ini pembimbing menetapkan alternatif tindakan bantuan yang akan diberikan. Selanjutnya melakukan perencanaan mengenai jenis dan bentuk masalah apa yang sedang dihadapi individu. Seperti rumusan kasus Benin, maka diperkirakan Benin menghadapi masalah rendah diri karena orang tua telah bercerai sehingga kurang mendapat perhatian dari mereka. Dari rumusan jenis dan bentuk masalah yang dihadapi Benin, maka dibuat alternatif tindakan bantuan, seperti memberikan konseling individu yang bertujuan untuk memperbaiki perasaan kurang diperhatikan, dan rendah diri. Dalam hal ini konselor menawarkan alternatif layanan pada orang tua Benin dan juga Benin sendiri untuk diberikan konseling. Penawaran tersebut berhubungan dengan kesediaan individu Benin sebagai orang yang sedang mempunyai masalah (klien). Dalam menetapkan prognosis, pembimbing perlu memerhatikan: 1) pendekatan yang akan diberikan dilakukan secara perorangan atau kelompok; 2) siapa yang akan memberikan bantuan, apakah guru, konselor, dokter atau individu lain yang lebih ahli; 3) kapan bantuan akan dilaksanakan, atau hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan.

Apabila dalam memberi bimbingan guru mengalami kendala, yaitu tidak bisa diselesaikan karena terlalu sulit atau tidak bisa ditangani oleh pembimbing, maka penanganan kasus tersebut perlu dialihkan penyelesaiannya kepada orang yang lebih berwenang, seperti dokter, psikiater atau lembaga lainnya. Layanan pemindahtanganan karena masalahnya tidak mampu diselesaikan oleh pembimbing tersebut dinamakan dengan layanan referal. Pada dasarnya bimbingan merupakan proses memberikan bantuan kepada pihak siswa agar ia sebagai pribadi memiliki pemahaman akan diri sendiri dan sekitarnya. Selanjutnya dapat mengambil keputusan untuk melangkah maju secara optimal guna menolong diri sendiri dalam menghadapi dan memecahkan masalah, dan siswa atau individu yang mempunyai masalah tersebut menentukan alternatif yang sesuai dengan kemampuannya.

4. Pemberian Bantuan

Setelah guru merencanakan pemberian bantuan , maka dilanjutkan dengan merealisasikan langkah-langkah alternatif bentuk bantuan berdasarkan masalah dan latar belakang yang menjadi penyebabnya. Langkah pemberian bantuan ini dilaksanakan dengan berbagai pendekatan dan teknik pemberian bantuan. Pada kasus Benin telah direncanakan pemberian bantuan secara individual. Pada tahap awal diadakan pendekatan secara pribadi pembimbing mengajak Benin menceritakan masalahnya, mungkin pada awalnya Benin akan sangat sulit menceritakan masalahnya, karena masih memiliki perasaan takut atau tidak percaya terhadap pembimbing. Dalam hal ini pembimbing dituntut kesabarannya untuk bisa membuka hati Benin agar mau menceritakan masalahnya, meyakinkan kepada Benin bahwa masalahnya tidak akan diceritakan pada orang lain serta akan dibantu menyelesaikannya. Pemberian bantuan ini dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali pertemuan saja, tetapi perlu waktu yang berulang-ulang dan dengan jadwal dan sifat pertemuan yang tidak terikat, kapan Benin sebagai individu yang mempunyai masalah mempunyai waktu untuk menceritakan masalahnya dan bersedia diberikan bantuan. Oleh sebab itu, seorang pembimbing hendaknya dapat menumbuhkan transferensi yang positif, sehingga klien mau memproyeksikan perasaan ketergantungannya kepada pembimbing (konselor).

5. Evaluasi dan Tindak Lanjut

Setelah pembimbing dan klien melakukan beberapa kali pertemuan, dan mengumpulkan data dari beberapa individu, maka langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi dan tindak lanjut. Evaluasi dapat dilakukan selama proses pemberian bantuan berlangsung sampai pada akhir pemberian bantuan. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, seperti melalui wawancara, angket, observasi, diskusi, dokumentasi dan sebagainya. Dalam kasus Benin, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara antara pembimbing dengan Benin sendiri, pembimbing dengan orangtua Benin, teman dekat atau sahabat Benin, dan beberapa orang guru. Observasi juga dilakukan terhadap Benin pada jam istirahat, bagaimana Benin bergaul dengan temannya, bagaimana teman-temannya memperlakukan Benin dan sebagainya. Adapun observasi yang dilakukan baik oleh pembimbing maupun guru, yaitu untuk mengetahui aktivitas Benin dalam menerima pelajaran, siakpnya didalam kelas saat mengikuti pembelajaran. Pembimbing juga berkunjung ke rumah Benin guna mengetahui kondisi rumah Benin sekaligus mewawancarai orang tuanyamengenai sikap Benin di rumah. Dari beberapa data yang telah terkumpul, kemudian pembimbing mengadakan evaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya pemberian bantuan telah dilaksanakan dan bagaimana hasil dari pemberian bantuan tersebut, bagaimana ketepatan pelaksanaan yang telah diberikan. Dari evaluasi tersebut dapat diambil langkah-langkah selanjutnya; apabila pemberian bantuan kurang berhasil, maka pembimbing dapat mengubah tindakan atau mengembangkan bantuan ke dalam bentuk yang berbeda.

D. Bentuk-bentuk layanan bimbingan pribadi dalam bimbingan dan konseling di sekolah

Ada beberapa macam bentuk layanan bimbingan pribadi, yaitu pertama, layanan informasi. Informasi tentang tahap-tahap perkembangan dapat mencakup perkembangan: (a) fisik, (b) motorik, (c) bicara, (d) emosi, (e) sosial, (f) penyesuaian sosial, (g) bermain, (h) kreativitas, (i) pengertian, (j) moral, (k) seks, dan (l) perkembangan kepribadian. Sedangkan informasi tentang keadaan masyarakat dewasa ini dapat mencakup informasi tentang: (a) ciri-ciri masyarakat maju, (b) makna ilmu pengetahuan, dan (c) pentingnya IPTEK bagi kehidupan manusia.

Kedua, pengumpulan data. Data yang dikumpulkan berkenaan dengan layanan bimbingan pribadi dapat mencakup: (a) identitas individu seperti nama lengkap, nama panggilan, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, alamat, bahasa daerah, anak ke, orang tua dan lain-lain, (b) kejasmanian dan kesehatan, (c) riwayat pendidikan, (d) prestasi, (e) bakat, (f) minat, dan lain-lain.

Ketiga, orientasi. Layanan orientasi bidang pengembangan pribadi mencakup: suasana, lembaga, dan objek pengembangan pribadi seperti lembaga pengembangan bakat, pusat kebugaran dan latihan pengembangan kemampuan diri, tempat rekreasi, dan lain sebagainya.